A. Genre
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Genre, istilah serapan untuk ragam adalah pembagian suatu bentuk seni atau tutur tertentu menurut kriteria yang sesuai untuk bentuk tersebut.
- Dalam semua jenis seni, genre adalah suatu kategorisasi tanpa batas-batas yang jelas.
- Genre terbentuk melalui konvensi, dan banyak karya melintasi beberapa genre dengan meminjam dan menggabungkan konvensi-konvensi tersebut. Lingkup kata "genre" biasanya dibatasi pada istilah dalam bidang seni dan budaya.
B. Pesantren
1. Sejarah umum
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah
inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya
itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama
supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.
Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang
didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan.
Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren
tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada
pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik
bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.
2. Definisi pesantren
2.1 Etimologi
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai.
Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri
senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.
Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah
agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan
hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.
Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin
Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian
dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut
Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
2.2. Elemen Dasar Sebuah Pesantren
a. Pondok
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah
bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai
Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk
pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama
merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri.
Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini
didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya
berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri,
dan antara satu santri dengan santri yang lain.
Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping
adanya hubungan timbal balik antara Kyai dan santri, dan antara santri
dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofir,
bahwa adanya sikap timbal balik antara Kyai dan santri di mana para
santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan
santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa
dilindungi.
Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling
menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz untuk
membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang
dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz,
sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang
cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.
Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan
pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan keadaan pondok pada masa
kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu: “Pondok
terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari
bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu
dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur
oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak
bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.
Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang
didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agaknya sempurna di mana
didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di
sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang
sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus
membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di
dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat
tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari
kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”.
Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan
sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama
makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.
Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami
beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan.
Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok
laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri
laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok
berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.
b. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren
dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para
santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat
Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula
Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai sebagai
pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain
kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak
masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW
tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah
menjadi pusat pendidikan Islam”.
Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut,
bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh
kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian
mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan
anjuran kepada murid-muridnya.
Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren
pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun
biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia
sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan
mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid
merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.
c. Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan
sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik
calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena
itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan
paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer
dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal-usul istilah ini belum
diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna
membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab
tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada
saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas
putih.
Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau
ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan
bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren
menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu:
(1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul
Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi),
(7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah)
dan Balaghah”.
Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di
pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di
pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai
ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai
itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan
kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai
kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa:
“Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan
pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu
diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
(Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan
berguna kini atau nanti”.
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal
utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan
tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi Kyai.
d. Santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama
di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama
pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak
tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut
dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada
pembahasan di depan.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu
murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran
kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya
terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau
murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di
lingkungan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari
desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan
kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus
sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama
antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati
peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada
pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan.
e. Kyai
Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.
Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain
gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif,
dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang
keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian
pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para
pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah
membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan
memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan
pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini
nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai
suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata
nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran
kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan
amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan
beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa
terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk
memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kyai.
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai
sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah
beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya
merupakan syarat dan gambaran kelengkapan elemen sebuah pondok
pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan
berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat.
2.3. Peranan
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.
Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal
(dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas
horisontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).
Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai
lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial
yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di
sekitarnya.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.
Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini
dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama
berkembang sebelum kedatangan Islam.
Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini,
pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap
perjalanan sejarah bangsa.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan
biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan
biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
C. Sastra
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia
kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau
sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi.
Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks.
Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis
atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya,
diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:
Secara singkat di sini dapat disebutkan bahwa SASTRA GENRE PESANTREN
adalah jenis tulisan/karya sastra (novel, cerpen, syair, dlsb) yang berkaitan
dengan keberadaan pesantren (yang memiliki 5 unsur di atas).
HAS Chamidi 2013 ; aschamidi@yahoo.co.id